sebuah kisah

Imam At-Tirmidzi mungkin tak menduga bahwa kalimat ringf kas yang beliau gunakan sebagai judul sebuah bab dalam kitab Sunan-nya itu, kini menjadi sebuah mahfuzhat terkenal untuk menggambarkan sifat iman. Kalimatnya berbunyi, “Al Iimaanu 

yaziidu wa yanqush. Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun. Yaziidu bith thaa’ah, wa yanqushu bil ma'shiyah. Bertambah oleh sebab ketaatan dan berkurang karena kedurhakaan.” 

ltulah para ulama yang ahli hikmah, merumuskan hal yang rumit menjadi kalimat yang pendek dan sederhana, namun begitu kaya dan penuh makna. Itulah jawami’ul kalim. Sementara kita yang bodoh ini kadang-kadang tergoda untuk merumitkan se» suatu yang sederhana agar disangka *alim, agar terlihat pandai, agar terkesan cerdas. Padahal tak satupun dari untaian kalimat kita yang berbusa'busa difahami orang, tak sedikit pun memberikan kefahaman, dan seluruhnya jauh dari makna yang meme 

bangkitkan amal shalih. Astaghfileaahal ”Adhim. 

Demikianlah, dengan perkataan ringkas Imam At-Tirmidzi itu, yang sebetulnya adalah kesimpulan beliau atas beberapa ha, dits dan riwayat, kita memahami bahwa iman adalah sesosok rasa yang hidup dalam hati. Ia bisa disuburkan, dikokohkan, dirin' dangkan. Namun jika lalai jadilah ia kering, layu, bahkan mati. Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun. Bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan.

”Alim dan ahli hikmah yang lain, memberi kita pemahaman tentang ruang cakup iman. “Iman,” kata Imam Atthhahawi dalam Ala'Aqidah Ath-Thahawiyah, “Adalah pembenaran dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan seluruh anggota badan. ” Batasan ini menjadi sebuah penanda kesempurnaan bagi iman. Kurang satu dari ketiga unsurnya, kata beliau, menjadikan sang iman gugur. Seperti munafik; mereka mungkin beriman dalam lisan dan perbuatan. Apa yang terucap dan apa yang diperbuat tak beda dengan mukmin sejati. Akan tetapi sayang, hatinya mengingkari.

Ada pula orang orang yang sungguh pemahamannya mencukupi dan hatinya meyakini. Sayang rasa hasad dan dengki meng-* halangi lisannya untuk mengakui, membelenggu anggota tubuh:nya untuk mengamini. Di antara mereka adalah para tokoh Yahudi di kota Yatsrib. Sejak kedatangan Sang Nabi, kota ini beralih nama menjadi Madinah.
Belum banyak pemuka Yahudi yang mengetahui keislaman

'Abdullah ibn Salam. Rasulullah sungguh berharap, para Ahli Kitab inilah yang akan segera menyambut da'wah beliau. Bahkan begitu berharapnya beliau akan hal itu, pada harifhari awalnya

di Madinah beliau menyesuaikan penampilannya dengan mereka. Adapun 'Abdullah, dia meyakinkan Sang Nabi bahwa para rabi

dan orang 'alim Yahudi itu pasti mengenal beliau dari tandavtandaf nya seperti mereka mengenal anakvanak mereka sendiri. Sayang,

sifat hasad mereka telah mengalahkan kejernihan batinnya. “Ujilah mereka Ya Rasulallah!” .

Beliau mengangguk. 

Maka Sang Nabi mengundang para pemuka Ahli Kitab itu sementara 'Abdullah ibn Salam bersembunyi. Ketika mereka da

tang, beliau Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagaimana kedudukan Hushain ibn Salam di tengahvtengah kalian?”

“Dia adalah saudara kami yang mulia,” jawab mereka nyaris serempak, “Putra dari saudara kami yang mulia, termasuk di an» tara keturunan yang termulia di kalangan Bani Israil!”

Rasulullah tersenyum. “Wahai 'Abdullah,” kata beliau, "“Ke; luarlah!”

Maka 'Abdullah ibn Salam keluar menemui mereka. “‘Asyha» du an Laa Ilaaha Illallaah,” serunya, “Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” '
Mereka terperangah dan murka. Setelah riuh gaduh dan hia tuk pikuk reda, salah seorang yang dituakan bicara mewakili mereka. “Adapun orang ini, putra Salam, maka dia adalah orang yang paling hina di antara kami, anak dari orang yang hina, dan dari keturunan yang paling hina!” Semua mengangguk meng. amini, lalu mereka bergegas pergi dengan gaya jalan angkuh dan menampakkan benci.

0 komentar:

Posting Komentar